REDMOL.ID Desa Bibinoi, Halmahera Selatan – 23 Juni 2025 — Langit kelabu menaungi Desa Bibinoi sejak pagi. Gerimis turun pelan, lalu berubah menjadi hujan yang lebih deras, membasahi dedaunan, genteng-genteng tua, dan tanah pekarangan yang licin oleh lumpur. Namun di tengah hujan yang terus mengalir, sebuah tenda berdiri sederhana di halaman rumah keluarga besar almarhum Haji Muhdar Kasuba — seorang tokoh yang semasa hidupnya lebih dikenal karena kebaikan daripada suara keras, karena keteladanan daripada kata-kata.
Hari itu, keluarga dan warga berkumpul dalam sebuah hajatan doa dan kenangan, mengenang hari berpulangnya Haji Muhdar. Tak ada gegap gempita, tak ada keramaian berlebihan. Hanya lantunan ayat-ayat suci, aroma kopi dan kue kampung, serta percakapan-percakapan kecil di bawah rintik hujan yang sesekali reda.
Di antara para pelayat, hadir tiga sosok yang tak asing bagi masyarakat Maluku Utara. Mereka adalah Muhammad Kasuba, Bahrain Kasuba, dan Jamil Yunus. Nama-nama yang dulunya lekat dengan kebijakan dan kepemimpinan, kini duduk bersama di tengah warga, bukan sebagai pejabat, tapi sebagai anak, saudara, dan sahabat dari seorang yang mereka hormati bersama.
Tak banyak yang mereka ucapkan, namun kehadiran mereka menyampaikan lebih dari sekadar kata. Di balik senyum kecil dan tawa pelan yang sesekali pecah di antara mereka, tersimpan memori panjang—tentang masa lalu, tentang rumah ini, tentang seorang ayah, guru, sekaligus panutan yang kini hanya tinggal nama dalam doa.
"Melihat mereka bertiga duduk berdampingan, hati ini seperti disentuh sesuatu yang lembut," kata seorang warga tua yang duduk di sudut tenda. "Di tengah kehilangan, kita justru diberi pemandangan tentang persatuan yang sederhana."
Suasana hajatan terasa khidmat namun hangat. Makanan disajikan dengan tangan sendiri oleh kerabat, anak-anak berlarian kecil di halaman becek, dan para tamu berbicara pelan agar tak mengganggu doa yang mengalun dari pengeras suara masjid. Tidak ada kemewahan, tidak ada panggung, tapi ada rasa: rasa bahwa hari ini bukan hanya untuk mengenang, tapi juga untuk merajut kembali tali yang sempat longgar.
Haji Muhdar Kasuba, dalam hidupnya, dikenal bukan karena banyak bicara, tapi karena banyak berbuat. Ia bukan tokoh yang mengejar sorotan, tapi justru menjadi pelita dalam gelap—baik bagi keluarganya maupun bagi masyarakat sekitar. Maka kepergiannya meninggalkan ruang kosong, tapi sekaligus membuka ruang pertemuan: antara keluarga, sahabat, bahkan antara generasi.
Saat hujan perlahan reda, para tamu mulai beranjak. Di sudut tenda, Muhammad Kasuba dan Bahrain Kasuba tampak berbincang sambil menatap ke luar. Jamil Yunus menyalami beberapa pemuda desa yang menghampiri dengan takzim. Tak ada pidato, tak ada simbol formal. Yang tertinggal adalah kesan — bahwa hari itu bukan sekadar peringatan wafat, tapi juga pengingat tentang pentingnya hadir, meski hanya duduk diam dan berbagi senyuman.
Desa Bibinoi hari itu bukan sekadar sebuah tempat. Ia menjadi ruang bagi kenangan, keikhlasan, dan kebersamaan yang tumbuh dari kehilangan. Dan mungkin, dalam kepergian seseorang yang dicintai, kita diingatkan kembali akan nilai-nilai paling sederhana namun paling bermakna: silaturahmi, hormat kepada orang tua, dan ketulusan untuk saling menguatkan. Red Wan