REDMOL ID LABUHA — Proyek perluasan Bandara Oesman Sadik di Halmahera Selatan kembali menuai kontroversi. Kali ini, sorotan tajam datang dari masyarakat menyusul dugaan ketidakadilan dalam proses pembebasan lahan. Seorang warga, Musa Lauri, mengaku lahannya telah masuk dalam kawasan pengembangan bandara, namun hingga kini belum mendapatkan hak ganti rugi dari pemerintah daerah.
Lahan yang dimaksud telah secara fisik berada dalam area proyek pengembangan Bandara Oesman Sadik. Namun berbeda dengan sejumlah pemilik lahan lain di sekitar lokasi yang sudah menerima pembayaran, Musa Lauri justru merasa dianaktirikan. Ketidakjelasan status pembayaran ini menimbulkan pertanyaan serius: Ada apa sebenarnya di balik pengelolaan lahan proyek strategis ini?
Musa Lauri: “Ini Tanah Saya, Saya Minta Dibayar”
Saat ditemui media di kediamannya, Musa Laore tidak bisa menyembunyikan rasa kecewa dan ketidakpuasannya. Dengan nada tegas namun tenang, ia menyatakan bahwa dirinya memiliki hak penuh atas lahan yang kini sudah masuk dalam pengembangan bandara.
Saya meminta kepada pemerintah daerah, hak saya harus dibayar. Ini tanah milik saya. Jangan seenaknya pakai lahan orang tanpa ganti rugi yang jelas," tegas Musa Lauri
Ia menjelaskan bahwa dirinya telah menyerahkan berbagai dokumen pendukung kepemilikan kepada pemerintah, namun sejauh ini belum mendapat jawaban pasti kapan haknya akan dibayar.
Pihak Bandara: “Kami Tak Urus Tanah yang Bukan Sertifikat Bandara”
Media mencoba mengonfirmasi persoalan ini ke pihak pengelola Bandara Oesman Sadik. Muhammad, salah satu pejabat yang ditemui di ruang kerjanya, memberikan keterangan yang cukup mengejutkan.
Kami tidak mencampuri urusan lahan yang bukan sertifikat atas nama bandara," ujarnya singkat.
Pernyataan ini memperkeruh situasi, sebab dari segi fakta di lapangan, lahan milik Musa Lauri sudah termasuk dalam area bandara. Jika benar pihak bandara mengabaikan aspek legalitas kepemilikan warga, maka ini bisa menjadi bentuk pengabaian terhadap hak-hak masyarakat.
Dinas Aset dan Keuangan Lempar Bola
Media juga mencoba mendapatkan penjelasan dari instansi terkait. Salah satu kepala bidang di Dinas Aset Daerah, Bapak Nasir, menolak memberikan tanggapan. Ia justru menyarankan agar awak media langsung menghubungi Kepala Badan Keuangan Daerah.
Namun hingga berita ini diturunkan, Kepala Badan Keuangan Daerah belum memberikan keterangan resmi. Sikap diam dan saling lempar tanggung jawab antar instansi ini justru memperkuat dugaan adanya ketidakterbukaan dalam proses pembebasan lahan.
Keadilan yang Tertunda
Kasus seperti yang dialami Musa Lauri bukan kali pertama terjadi dalam proyek pembangunan infrastruktur di daerah. Seringkali, warga kecil harus berhadapan dengan kekuasaan dan birokrasi yang rumit, membuat mereka kehilangan hak atas tanah mereka sendiri tanpa kejelasan kompensasi.
Padahal, dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, disebutkan bahwa setiap pengambilan lahan untuk pembangunan wajib diiringi dengan proses musyawarah dan pemberian ganti rugi yang adil dan layak kepada pemilik lahan.
Jika pemerintah daerah benar-benar berniat menjalankan pembangunan secara berkeadilan, maka seharusnya kasus seperti ini tidak dibiarkan berlarut-larut.
Publik Menunggu Transparansi
Kasus lahan Bandara Oesman Sadik kini menjadi ujian serius bagi integritas pemerintah daerah. Mengapa sebagian warga sudah menerima ganti rugi, sementara yang lain justru tidak? Apakah ada unsur diskriminasi atau praktik manipulasi dalam proses penentuan ganti rugi?
Pemerintah harus segera memberi klarifikasi terbuka, bukan sekadar saling lempar tanggung jawab. Di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur nasional, kisah seperti Musa Lauri menunjukkan bahwa pembangunan tanpa keadilan hanya akan menorehkan luka dan ketidakpercayaan publik.
Media ini akan terus mengawal kasus ini, demi memastikan tidak ada lagi hak warga yang dikorbankan atas nama pembangunan.Red wan