
Halmahera Selatan, RedMOL.ID – Polemik hukum kembali mengemuka di Kabupaten Halmahera Selatan setelah Bupati mengeluarkan Surat Keputusan (SK) untuk mengangkat empat kepala desa secara definitif. Padahal, sebelumnya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) telah membatalkan hasil pemilihan kepala desa tahun 2022 yang menjadi dasar pengangkatan mereka.
Langkah ini sontak memicu kontroversi. Sebagian pihak menuding Bupati mengabaikan putusan pengadilan, sementara yang lain melihat keputusan itu sebagai upaya menyelamatkan jalannya pemerintahan desa agar tidak lumpuh.
Alasan Penerbitan SK Baru
SK Bupati yang dipersoalkan berisi pengangkatan kembali empat kepala desa yang sebelumnya tersandung persoalan hukum. Dalam pertimbangannya, Bupati menilai jika pengangkatan tidak segera dilakukan, akan terjadi kekosongan pemerintahan desa yang berisiko menghambat pelayanan publik dan memicu ketegangan sosial. Dengan dasar itu, SK baru diterbitkan untuk menjaga kesinambungan pemerintahan sekaligus memberi kepastian hukum bagi warga.
Putusan PTUN Tidak Menutup Ruang Baru
Praktisi hukum Risno N. Laumara, S.H., menegaskan bahwa meski putusan PTUN bersifat final dan mengikat, sifat itu hanya berlaku terhadap objek sengketa konkret yang diperiksa pengadilan. “Putusan tidak otomatis menutup ruang bagi pejabat untuk mengeluarkan keputusan baru, selama ada fakta hukum berbeda atau kebutuhan administratif mendesak,” jelasnya.
Kewenangan Atribusi yang Sah
Risno menggarisbawahi bahwa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa secara tegas memberi atribusi kepada Bupati untuk mengangkat maupun memberhentikan kepala desa. Pasal 26 dan 34 menjadi dasar hukum kewenangan tersebut. “Dengan demikian, SK baru tidak dapat dipandang sebagai pengulangan keputusan yang dibatalkan, melainkan pelaksanaan kewenangan atribusi yang sah,” tegasnya.
Diskresi untuk Hindari Stagnasi
Lebih lanjut, Risno menyebut bahwa Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan memberi ruang penggunaan diskresi bagi pejabat. Diskresi dapat digunakan untuk mengatasi kebuntuan birokrasi maupun menghindari stagnasi. “Jika tidak ada kepala desa definitif, pelayanan publik terganggu dan potensi konflik sosial meningkat. Dalam konteks itu, Bupati berhak menggunakan diskresi,” paparnya.
Amanat Konstitusi dan Kepentingan Umum
Risno juga menyoroti aspek konstitusional. Pasal 18 UUD 1945 menegaskan pengakuan negara terhadap pemerintahan daerah, termasuk desa. Stabilitas pemerintahan desa merupakan bagian dari amanat konstitusi. Sementara Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menekankan hak setiap warga atas kepastian hukum yang adil. “Kebijakan Bupati harus dilihat bukan semata soal administratif, tetapi juga soal kewajiban konstitusional untuk melindungi kepentingan masyarakat luas,” ujarnya.
Potensi Gugatan Baru
Meski demikian, ia tidak menutup kemungkinan SK tersebut kembali digugat. Menurutnya, hal itu bukan bukti cacat hukum, melainkan cermin bahwa mekanisme pengawasan yudisial tetap terbuka. “Pihak yang merasa dirugikan tetap punya ruang untuk menguji kembali keputusan tersebut di pengadilan,” katanya.
Analisis Keseluruhan
Dari perspektif hukum administrasi dan konstitusi, Risno menilai penerbitan SK Bupati Halmahera Selatan tidak serta-merta bisa dicap ilegal. Keputusan itu punya dasar atribusi jelas, dapat dibenarkan dengan prinsip diskresi, sejalan dengan asas kepentingan umum, dan berakar pada legitimasi konstitusional.
“Opini yang menyebut SK Bupati melawan hukum terlalu mereduksi persoalan. Ada justifikasi normatif yang kuat, sepanjang tujuan keputusan itu menjaga pemerintahan desa tetap berjalan dan melindungi kepentingan masyarakat,” pungkas Risno.
Ia menambahkan, jalur hukum tetap tersedia bagi pihak yang merasa dirugikan. “Ubi jus ibi remedium—di mana ada hak, di situ ada upaya hukum. Prinsip ini menjadi jaminan agar semua pihak tetap bisa mencari keadilan,” tegas Risno N. Laumara, S.H.
Redaksi : Wawan
