
REDMOL.HALSEL.ID – Polemik pelantikan empat kepala desa di Halmahera Selatan seolah menjadi cerita panjang yang belum menemukan ujung. Perdebatan muncul, sebagian pihak menganggap langkah Bupati terburu-buru, sementara yang lain menilai kebijakan tersebut justru menyelamatkan jalannya roda pemerintahan desa.
Di tengah riuh wacana ini, Lembaga Bantuan Hukum Jaringan Advokat Halmahera Selatan (LBH JAVHA) tampil memberikan penegasan hukum. Dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi I DPRD Halmahera Selatan, Kamis (28/9/2025), LBH JAVHA menegaskan bahwa penerbitan Surat Keputusan (SK) baru oleh Bupati bukanlah tindakan tanpa dasar. Sebaliknya, itu adalah pelaksanaan kewenangan atribusi yang melekat pada jabatan Bupati sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Hukum yang Menjadi Payung
Faisal, SH, advokat LBH JAVHA, menjelaskan dengan gamblang: Pasal 26 dan Pasal 34 undang-undang desa memberi kewenangan penuh kepada Bupati untuk mengangkat maupun memberhentikan kepala desa. Kata “atribusi” di sini penting, sebab kewenangan itu bukan pemberian dari pihak lain, melainkan melekat langsung dari undang-undang.
“Dengan demikian, penerbitan SK baru oleh Bupati bukanlah pelanggaran hukum, melainkan pelaksanaan kewenangan atribusi yang sah,” tegasnya.
Pernyataan itu seolah menjadi jawaban atas kegaduhan publik yang mempertanyakan legalitas SK. LBH JAVHA ingin memastikan, publik tidak terjebak dalam opini bahwa Bupati bertindak sepihak.
Diskresi: Antara Kebutuhan dan Kontroversi
Tak berhenti di situ, Faisal juga mengurai konsep diskresi. Bagi sebagian orang, istilah ini sering dipandang negatif, seolah-olah kepala daerah bisa mengambil keputusan sesuka hati. Padahal, diskresi adalah instrumen hukum yang justru memberi ruang bagi pejabat untuk mengambil langkah cepat ketika aturan tidak mengatur secara detail.
Dalam kasus ini, diskresi dipakai Bupati demi menjamin kelancaran pelayanan publik di desa. Artinya, keputusan bukan semata soal jabatan, melainkan soal menjaga roda pemerintahan agar tidak macet.
“Diskresi bukan berarti sewenang-wenang. Ia harus dijalankan secara proporsional, sah, dan berpihak pada kepentingan umum,” ujar Faisal menambahkan.
Jalur Hukum yang Terbuka
Namun, Faisal tidak menutup mata. Ia menegaskan bahwa setiap kebijakan kepala daerah tetap bisa diuji di ranah hukum. Dalam konteks ini, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menjadi wadah resmi untuk menguji sah-tidaknya SK Bupati.
“Yang menjadi objek gugatan adalah SK Bupati, bukan pribadi kepala desa. Selama belum ada putusan yang membatalkan, maka SK itu sah dan berlaku,” jelasnya.
Pernyataan ini penting, karena menunjukkan bahwa jalur hukum tetap terbuka. Bagi pihak yang merasa dirugikan, pengadilan adalah ruang penyelesaian, bukan jalanan atau arena opini liar.
Menjaga Kepastian Hukum
Lebih jauh, LBH JAVHA menilai bahwa penerbitan SK ini justru harus dimaknai sebagai wujud responsible governance. Pemerintahan yang bertanggung jawab, kata Faisal, adalah pemerintahan yang berani mengambil keputusan meski berisiko, asalkan dasar hukumnya jelas.
“Pemerintah daerah tidak boleh membiarkan ketidakpastian. Karena itu, langkah Bupati harus dilihat sebagai upaya menjaga kepastian hukum dan stabilitas pelayanan masyarakat,” tegasnya.
Jalan Tengah
Narasi ini kemudian sampai pada satu pesan penting: menghormati mekanisme hukum. LBH JAVHA mengingatkan semua pihak agar menyalurkan keberatan melalui PTUN, bukan melalui tekanan politik ataupun opini yang bisa memecah belah masyarakat.
Di ruang DPRD itu, suara LBH JAVHA menjadi semacam jalan tengah: menegaskan legalitas tindakan Bupati sekaligus membuka ruang koreksi hukum bagi pihak yang tidak setuju.
Harapan yang Sama
Pada akhirnya, polemik empat kepala desa ini tidak semata soal hukum, tetapi soal bagaimana masyarakat desa tetap mendapatkan pelayanan tanpa terganggu. LBH JAVHA berharap, dengan dukungan DPRD dan sikap dewasa semua pihak, kisruh ini segera berakhir.
Sebab, apa artinya jabatan jika masyarakat masih terjebak dalam kebingungan? Apa artinya polemik panjang jika pelayanan dasar justru terhambat?
Masyarakat menanti kepastian. Dan di situlah, peran hukum serta keberanian pemimpin diuji.
Redaksi
