HALMAHERA TERLUKA: PERJUANGAN RAKYAT MENJAGA TANAH LELUHUR

Redaksi
0

REDMOL.ID Oleh: Penulis. , Muhaimin mufrad 

Pulau Halmahera di Maluku Utara dulu dikenal sebagai salah satu surga tersembunyi Indonesia. Hutan tropisnya yang lebat, gunung-gunung yang menjulang, laut yang kaya biota, serta budaya lokal yang hidup dalam keseimbangan dengan alam, menjadikannya simbol keharmonisan antara manusia dan bumi. Namun kini, Halmahera sedang terluka. Bukan oleh bencana alam, tetapi oleh kerakusan ekonomi dan pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Kemajuan yang Mengusir

Dalam dua dekade terakhir, Halmahera menjadi sasaran investasi besar-besaran sektor pertambangan. Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya — terutama nikel dan logam-logam strategis lainnya — menjadikannya incaran korporasi nasional dan multinasional. Daerah seperti Weda, Obi, dan Gebe kini disulap menjadi kawasan industri tambang raksasa.

Namun kemajuan yang dijanjikan kepada masyarakat setempat ternyata hanya menyisakan luka. Perusahaan seperti PT Harita Nickel dan Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) datang dengan janji pekerjaan dan pembangunan. Namun kenyataannya, masyarakat lokal hanya ditempatkan pada posisi buruh kasar, sementara posisi teknis dan strategis diisi oleh tenaga kerja dari luar. Banyak warga kehilangan tanah, mata pencaharian, bahkan air bersih. Sementara pabrik-pabrik dan pelabuhan industri terus tumbuh, warga justru makin jauh dari kesejahteraan.

Tanah Ulayat yang Dirampas

Salah satu inti permasalahan adalah perampasan tanah ulayat — tanah adat yang diwariskan secara turun-temurun. Bagi masyarakat adat Halmahera, tanah bukan sekadar lahan ekonomi, tetapi bagian dari jati diri, sumber spiritual, dan tempat hidup yang diwariskan dari leluhur. Ketika tanah itu dirampas, maka yang hancur bukan hanya ladang atau rumah, tapi juga harga diri dan keberadaan sosial mereka sebagai manusia.

Hal yang paling memilukan terjadi di Maba Sangaji, Halmahera Timur. Pada 16-17 April 2025, masyarakat adat yang melakukan aksi penolakan terhadap aktivitas tambang PT Position justru dikriminalisasi. Sebelas warga ditetapkan sebagai tersangka dan dituduh melakukan tindakan premanisme. Padahal mereka hanya berdiri di tanah yang telah mereka jaga sejak nenek moyang mereka hidup. Aksi itu bukan tindakan kekerasan, melainkan jeritan pertahanan terakhir agar tanah leluhur mereka tidak hilang di tangan modal.

Pemerintah Absen, Korporasi Merajalela

Di tengah konflik ini, negara justru lebih sering berpihak pada investasi. Izin tambang diberikan dengan mudah, tanpa proses konsultasi publik yang memadai. Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) sering kali hanya menjadi formalitas. Banyak keputusan penting tentang masa depan masyarakat diambil tanpa kehadiran suara rakyat. Mekanisme pengawasan oleh masyarakat dibatasi, sementara korporasi terus bergerak bebas.

Pemerintah pusat dan daerah gemar menyebut proyek industri ini sebagai “motor pertumbuhan ekonomi”. Namun pertumbuhan macam apa yang dibangun di atas penderitaan rakyat? Jika harga sebuah smelter adalah hancurnya hutan, sungai yang tercemar, dan tanah yang dirampas, maka pertumbuhan itu bukan kemajuan — melainkan kemunduran moral.

Luka Kolektif, Perlawanan yang Terus Menyala

Apa yang terjadi di Halmahera bukan peristiwa tunggal. Ini adalah luka kolektif. Luka dari masyarakat yang melihat kampung halamannya berubah drastis dalam waktu singkat. Anak-anak yang dulu bermain di sungai, kini bermain di pinggir jalan berdebu. Para ibu yang dulu memanen sagu dan berkebun, kini hidup dari bantuan sesekali. Lelaki yang dulu melaut dan berburu, kini kehilangan arah. Mereka kehilangan tanah, kehilangan pekerjaan, kehilangan suara.

Namun di balik luka itu, semangat perlawanan tidak pernah padam.

Masyarakat adat terus melakukan aksi damai, diskusi komunitas, dan membangun jaringan solidaritas. Lembaga masyarakat sipil ikut turun tangan. Mahasiswa dan pemuda lokal menulis, merekam, bersuara. Mereka sadar, jika tidak ada yang menjaga, maka Halmahera akan hilang. Hilang sebagai tempat tinggal, sebagai ruang hidup, sebagai warisan sejarah yang tak bisa dibeli kembali.

Menjaga Rumah, Menjaga Martabat

Halmahera bukan tanah kosong. Ia adalah rumah bagi ribuan manusia dan makhluk hidup lainnya. Di dalamnya terdapat hutan adat, situs budaya, sungai suci, dan kampung-kampung tua yang memuat sejarah panjang. Jika kita biarkan pulau ini terus dirusak atas nama investasi, maka kita bukan hanya kehilangan kekayaan alam — kita kehilangan martabat sebagai bangsa.

Kini saatnya kita memilih: membela tanah dan rakyat Halmahera, atau berdiam dan menjadi bagian dari kejahatan yang membungkam.

Perjuangan rakyat Halmahera adalah cermin dari perjuangan masyarakat adat di seluruh nusantara. Mereka bukan anti-kemajuan. Mereka hanya ingin kemajuan yang adil. Kemajuan yang melibatkan mereka, bukan menggusur mereka.

Karena sejatinya, tanah bukan hanya milik mereka yang berkuasa, tapi milik mereka yang hidup dan mencintainya.red
Tags

Post a Comment

0Comments

Post a Comment (0)