Bau Korupsi Dana Desa Pigaraja Menguat, Akademisi Desak Kejari Hal-sel Usut tuntas.

Admin RedMOL
0

Halmahera Selatan - Akademisi Sekolah Tinggi Agama Islam Alkhairaat (STAIA) Labuha, Muhammad Kasim Faisal, mendesak Kejaksaan Negeri Halmahera Selatan untuk segera mengusut dugaan penyalahgunaan dana desa oleh Kepala Desa Pigaraja, Kecamatan Bacan, Kabupaten Halmahera Selatan.

Dalam komentarnya kepada redaksi, Minggu (8/12/2025), Muhammad Kasim Faisal menyoroti adanya dugaan kuat bahwa Kepala Desa Pigaraja telah memperkaya diri sendiri dengan menggunakan dana desa untuk kepentingan pribadi.

"Terdapat dugaan kuat bahwa Kepala Desa Pigaraja memiliki sejumlah aset pribadi yang nilainya fantastis, termasuk perkebunan kelapa yang jika ditotalkan mencapai lebih dari 10 hektar. Pertanyaannya, dari mana sumber pendanaan untuk membeli aset sebesar itu? Ini perlu diaudit secara mendalam," ujar Muhammad Kasim Faisal.

Ia menambahkan, kepemilikan aset dalam jumlah besar tersebut patut dicurigai mengingat gaji kepala desa yang terbatas tidak mungkin mampu mengakuisisi aset senilai itu dalam waktu singkat.

"Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 2 ayat (1), setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun," jelasnya.

Muhammad Kasim Faisal juga merujuk pada Pasal 3 UU Tipikor yang menyatakan bahwa penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara juga merupakan tindak pidana korupsi.

Akademisi yang dikenal vokal mengkritisi kebijakan pemerintah daerah ini meminta Kejaksaan Negeri Halmahera Selatan untuk mengambil atensi serius terhadap kasus ini sebagai bagian dari pemberantasan korupsi.

"Saya meminta Kejaksaan Negeri Halmahera Selatan untuk segera mengaudit seluruh aset kekayaan pribadi Kepala Desa Pigaraja yang saat ini nilainya fantastis. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 30 ayat (1) huruf d, kejaksaan memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu, termasuk korupsi," tegas Muhammad Kasim Faisal.

Ia menambahkan, UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

"Kejaksaan harus proaktif. Jangan menunggu laporan masyarakat. Ini sudah menjadi rahasia umum di masyarakat Pigaraja tentang kekayaan yang dimiliki kepala desa mereka. Jika dibiarkan, ini akan merusak kepercayaan publik terhadap penegakan hukum," ujarnya.

Muhammad Kasim Faisal juga menyoroti dugaan pengadaan rompong yang tidak jelas realisasinya.

"Saya meminta Kejaksaan Negeri Halmahera Selatan untuk mengaudit pengadaan rompong yang berjumlah kurang lebih 21 unit yang sampai saat ini belum ada realisasinya sejak tahun 2024. Ke mana anggaran untuk pengadaan rompong tersebut? Ini harus diusut tuntas," tegasnya.

Ia menjelaskan, berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, setiap penggunaan dana desa harus dapat dipertanggungjawabkan dan harus ada bukti fisik dari kegiatan yang dilaksanakan.

"Pasal 39 Permendagri Nomor 20 Tahun 2018 menyebutkan bahwa kepala desa bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan desa. Jika ada anggaran yang dicairkan tetapi tidak ada realisasi fisik, ini sudah masuk kategori penyalahgunaan keuangan desa," jelasnya.

Muhammad Kasim Faisal juga merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang dalam Pasal 103 mengatur bahwa dana desa digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.

"Pengadaan rompong adalah bagian dari pemberdayaan masyarakat. Jika anggarannya ada tetapi barangnya tidak ada, ini adalah indikasi kuat terjadinya korupsi," tegasnya.

Muhammad Kasim Faisal juga meminta Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Pigaraja untuk secara terbuka melakukan pengawasan terhadap pengelolaan dana desa, khususnya terkait dengan aset kekayaan pribadi Kepala Desa Pigaraja.

"BPD memiliki fungsi pengawasan terhadap kinerja kepala desa. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2024, Pasal 55 menyebutkan bahwa BPD memiliki fungsi mengawasi kinerja kepala desa, mengawasi pelaksanaan peraturan desa, dan mengawasi pelaksanaan APBDesa," jelasnya.

Ia menambahkan, Pasal 61 UU Desa menyebutkan bahwa BPD berhak meminta keterangan kepada pemerintah desa dan menyatakan pendapat atas penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa.

"BPD Pigaraja harus berani membuka data tentang kepemilikan dusun kelapa yang dimiliki Kepala Desa Pigaraja. Berapa luasnya? Kapan dibeli? Dari mana sumber dananya? Ini harus transparan. Jika BPD takut atau tidak berani, berarti mereka telah gagal menjalankan fungsi pengawasan," tegas Muhammad Kasim Faisal.

Akademisi STAIA Labuha ini juga mengkritik keras kinerja Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) dan Inspektorat Kabupaten Halmahera Selatan yang dinilai lemah dan membiarkan penyalahgunaan anggaran desa terjadi.

"DPMD dan Inspektorat Kabupaten Halmahera Selatan dinilai sangat lemah dalam melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pemerintahan desa. Mereka membiarkan penyalahgunaan anggaran desa terjadi di depan mata mereka," kritik Muhammad Kasim Faisal.

Ia menjelaskan, berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 47 Tahun 2016 tentang Administrasi Pemerintahan Desa, DPMD memiliki kewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa.

"Pasal 132 Permendagri Nomor 47 Tahun 2016 menyebutkan bahwa pembinaan dan pengawasan pemerintahan desa dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota melalui dinas yang menangani urusan pemerintahan desa. Jika DPMD tidak menjalankan fungsi ini, mereka telah lalai," jelasnya.

Sementara untuk Inspektorat, Muhammad Kasim Faisal merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

"Pasal 4 PP Nomor 12 Tahun 2017 menyebutkan bahwa pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah, termasuk pemerintahan desa. Inspektorat harus melakukan audit investigasi jika ada indikasi penyalahgunaan keuangan desa," jelasnya.

Muhammad Kasim Faisal juga merujuk pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, yang mengatur bahwa inspektorat daerah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah.

"Jika Inspektorat tidak proaktif melakukan audit, mereka juga harus dimintai pertanggungjawaban. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Pasal 87, PNS yang tidak menjalankan kewajiban dapat dikenai sanksi disiplin. Lebih lanjut, PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil mengatur secara rinci jenis pelanggaran dan sanksi yang dapat dijatuhkan kepada PNS yang lalai dalam menjalankan tugasnya," tegasnya.

Ia menambahkan, Pasal 7 PP Nomor 94 Tahun 2021 menyebutkan bahwa PNS yang tidak melaksanakan tugas dan kewajiban dengan baik dapat dikenai hukuman disiplin mulai dari teguran lisan hingga pemberhentian tidak dengan hormat.

"Ini berlaku untuk semua pejabat di DPMD dan Inspektorat yang lalai dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintahan desa. Mereka harus bertanggung jawab atas kelalaian ini," ujarnya.

Muhammad Kasim Faisal mengingatkan bahwa jika dugaan korupsi terbukti, Kepala Desa Pigaraja dapat diancam dengan hukuman berat.

"Berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2024, Pasal 26 ayat (4) melarang kepala desa untuk menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya. Pelanggaran terhadap larangan ini dapat menjadi dasar pemberhentian kepala desa sebagaimana diatur dalam Pasal 40," jelasnya.

Ia juga mengingatkan bahwa berdasarkan Pasal 18 UU Tipikor, selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

"Jika terbukti aset-aset seperti perkebunan kelapa itu diperoleh dari hasil korupsi dana desa, maka aset tersebut harus dirampas untuk negara. Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor juga mengatur bahwa dalam keadaan tertentu, pelaku dapat dipidana dengan pidana mati," tegas Muhammad Kasim Faisal.

Muhammad Kasim Faisal mendesak Kejaksaan Negeri Halmahera Selatan, DPMD, dan Inspektorat untuk segera bertindak.

"Saya mendesak Kejaksaan Negeri Halmahera Selatan untuk segera melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap Kepala Desa Pigaraja. DPMD dan Inspektorat juga harus segera melakukan audit menyeluruh terhadap pengelolaan dana desa Pigaraja. Jangan biarkan korupsi dana desa terus terjadi di Halmahera Selatan," pungkasnya.

Hingga berita ini diturunkan, Kepala Desa Pigaraja, Kejaksaan Negeri Halmahera Selatan, DPMD Kabupaten Halmahera Selatan, dan Inspektorat Kabupaten Halmahera Selatan belum memberikan tanggapan resmi terkait tuduhan dan desakan dari akademisi STAIA Labuha ini.

Post a Comment

0Comments

Post a Comment (0)